Kasus tokek yang berujung vonis mati Yusman
Telaumbanua bukan kriminalisasi pertama di Nias. Faktanya, kriminalisasi
marak di daerah yang pernah porakporanda akibat tsunami itu.
"Tahun kemarin ada 17 kasus yang kita temukan terindikasi direkayasa. Sekarang sudah mencapai hampir 120-an kasus," kata Koordinator Badan Pekerja KontraS Haris Azhar di kantor Kontras, Senin (16/3/2015).
Menurut Haris, rekayasa kasus terjadi karena minim bukti. Tak jarang pula itu hanya untuk memenuhi kuota aparat penegak hukum.
"Ya, biasanya bisa jadi karena 'target' atau angka yang dikejar polisi. Jadi diada-adakan," tutur Haris.
Itu pula yang menimpa Yusman. Vonis mati untuk Yusman bermula dari jual beli tokek milik majikan Yusman. Alkisah, ada tiga orang yang berani membeli tokek itu seharga Rp500 juta. Yusman diperintah oleh majikannya menjemput ketiga pembeli yang tak lain adalah Kolimarinus, Jimmi, dan Rugun.
Yusman mengajak kakak iparnya, Rasulah. Mereka menumpang ojek. Entah bertemu atau tidak, tahu-tahu Yusman dan Rasulah dituduh menghabisi nyawa ketiga calon pembeli tokek itu. Motifnya, perampokan.
"Padahal, ketiga calon pembeli tak pernah membawa duit Rp500 juta seperti dikatakan polisi. Mereka cuma menenteng Rp7 juta," terang Haris.
Haris menyayangkan vonis mati buat Yusman. Apalagi, hukuman mati keluar dari proses hukum yang tidak berintegritas dan terlalu dipaksakan. Contah kasus ini dipaksakan karena kepolisian nekat memark-up usia Yusman dari 16 jadi 19 tahun, semata-mata agar tersangka bisa divonis mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar