Selasa, 13 Oktober 2015

 
Medan (Jaya Giri)
Purnawirawan TNI/Warakawuri/Yatim Piatu penghuni Asrama Widuri eks Brigif 7/RR   Marindal Kelurahan Harjosari Medan Amplas menolak pengosongan menyusul terbitnya surat pengosongan paksa yang ditujukan pada beberapa warga  Kompleks Asrama Widuri, Kelurahan Harjosari Medan Amplas.
Badan Musyawarah Warga (Bamus) Purnawirawan TNI/Warakawuri/Yatim Piatu menilai surat itu tidak layak dikeluarkan mengingat proses hukum lahan tersebut masih berlangsung di Mahkamah Agung (MA).
“Surat yang ditandangani Aslog Letkol Anggoro Nur Setiawan SIP MSi tertanggal 22 September 2015 dan 28 September 2015 ini tak semestinya dikeluarkan karena proses hukum masih berlangsung. Lagipula, yang berhak melakukan eksekusi jika putusan sudah berketetapan hukum adalah pengadilan negeri, bukan Kodam. Ini menunjukkan jika mereka berupaya mengganggu ketenangan warga,”jelas Ketua Bamus Purnawirawan TNI/Warakawuri/Yatim Piatu Kompleks Asrama Widuri, Mansyur Maha didampingi pengurus pada wartawan, Minggu (11/10).
Lebih jauh, dari ratusan rumah yang berada di komplek tersebut, hanya 6 rumah saja yang mendapatkan surat pengosongan tersebut. Keenam orang ini  merupakan tokoh di Komplek Asrama Widuri yang dianggap memiliki pengaruh dengan penghuni komplek lainnya.
Sengketa tanah dan bangunan Asrama Widuri dimulai dengan adanya upaya penggusuran paksa oleh Kodam I/BB pada 2007 lalu. Warga pun melawan karena sejarah asrama berbeda dengan asrama lainnya yang dibangun oleh negara.
Asrama Widuri yang berlokasi di Lingkungan II dan XV Kelurahan Harjosari II, Medan Amplas, dibangun oleh Kolonel Maludin Simbolon pada 1956 dengan menggunakan dana pribadi. Komplek tersebut dibangun untuk menyatukan seluruh anggota Kolonel Maludin yang selama ini menyebar ke mana-mana. Karena Kolonel memberontak dan melarikan diri, Asrama Widuri dihuni oleh Yonif 121/MK lalu Yonif 126/KC dan terakhir Brigif 7/RR.
Setelah Brigif 7/RR dilikuidasi pada 1984, asrama tersebut tidak dihuni kesatuan manapun. Lalu sejak 1985, warga sudah membayar PBB sendiri.
Lalu pada 1998, Kolonel Maludin Simbolon menolak permintaan keluarganya untuk mengelola asrama tersebut dan sepenuhnya menyerahkan hak atas asrama tersebut kepada para penghuninya.
Namun latar belakang tersebut tidak diakui pihak Kodam dan tetap melakukan upaya penggusuran. Sehingga, pada 2009, warga menempuh jalurhukum ke pengadilan negeri. Hingga saat ini, prosesnya masih berlangsung di Mahkamah Agung.
“Kami terus menunggu proses hukum yang sedang berlangsung. Semua pihak harus menghargainya, jangan melakukan tindakan-tindakan yang menyalahi hukum,”tukasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar